Covid-19:kemanusiaan dan pendidikan yang berantakan
Covid-19: “kemanusiaan dan pendidikan yang berantakan”
Pada akhir tahun 2019 kemarin Cina tepatnya di wilayah Wuhan terserang wabah penyakit yakni covid-19. Virus ini dapat menular dari manusia ke manusia yang terinfeksi, bahkan virus ini bisa menempel di benda dekat pasien atau di benda yang terkena lendir batuk dari manusia yang terinfeksi. Ada berbagai macam gejala yang dirasakan jika terjangkit virus ini seperti batuk, panas tinggi dan dada terasa sesak. Virus yang dengan cepat tersebar ke seluruh belahan dunia, kini telah menjadi teror mematikan setelah merenggut nyawa ribuan orang hanya dalam waktu dua pekan. Sudah ada 200 lebih negara di dunia melaporkan adanya kasus terpapar virus corona.
Hal ini menyebabkan World Health Organitation (WHO) menyatakan darurat global terhadap covid-19 ini. Dengan melihat banyaknya kasus di setiap negara yang terpapar virus ini. Covid-19 juga menyerang laju ekonomi di setiap negara. Ini di nyatakan oleh International Monetary Fund (IMF) sebagai krisis ekonomi dan keuangan, aktivitas ekonomi menjadi melambat. Sehingga IMF akan mengeluarkan dana tunjangan untuk membantu setiap negara dibelahan dunia untuk melawan virus ini. Indonesia juga termasuk di dalamnya. Akan tetapi, belum usai permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia seperti RUU cipta lapangan kerja (RUU CILAKA) yang mengancam ke berlangsungan hidup para pekerja, palanggaran HAM dimana-mana dan seterusnya, akankah pemerintah kita menambah permasalahan lagi dengan menambah pundi-pundi hutang Indonesia? Tidak hanya itu virus ini juga menyerang beberapa sektor di Indonesia, akibat himbauan pemerintah Indonesia untuk seluruh aktivitas di lakukan dirumah. Hal ini di sebabkan akibat banyaknya masyarakat yang terjangkit virus covid-19. Saat ini ada 1.677 kasus covid-19 di Indonesia seperti yang di lansir media kompas.com. jumlah ini akan terus bertambah jika pemerintah masih saja tidak memperhatikan masyarakatnya. Hal ini jelas di sampaikan jubir pemerintah dalam keterangan pers di balaikota Jakarta pada tanggal 30 maret 2020 menyatakan 2.288 Orang Dalam Pengawasan (ODP) sedangkan untuk Pasien Dalam Pengawasan (PDP) 1.046 orang 708 orang masih di rawat dan 338 orang sudah pulang. Ini disiarankan langsung oleh media kompas tv.
Hal ini jelas sangat efektif untuk mencegah penularan virus ini. Masyarakat di himbau agar melakukan aktivitas dirumah. Akan tetapi, apakah pemerintah memikirkan masyarakat menengah ke bawah yang menggantungkan hidupnya, di jalanan mencari nafkah untuk membeli sesuap nasi untuk keluarga di rumah? Mungkin untuk kelas menengah ke atas hal ini dianggap wajar-wajar saja, untuk mengurangi penyebaran covid-19 ini. Apalagi jika mereka memiliki kapital yang banyak mereka tidak perlu khawatir makan apa hari ini dan hari selanjutnya, stok dirumah merekapun sangat banyak. Saking banyaknya, banyak masyarakat kelas bawah yang tidak kebagian untuk membelinya. Di warung-warung maupun di tempat belanja lainnya, stok sudah habis bahkan harga juga naik. Lantas bagaimana nasib masyarakat yang tidak mampu untuk tetap dirumah? Yang di sebabkan mereka tidak memiliki stok makanan untuk tetap tinggal dirumah, apakah pemerintah memikirkan itu? Apakah pemerintah telah memberikan bantuan berupa tunjangan agar mereka mampu membeli stok makanan, untuk menjalankan himbauan pemerintah agar mereka tetap dirumah? Cicilan, tagihan air, tagihan listrik dan seterusnya yang terus menghantui mereka, belum lagi biaya kontrakan yang harus dibayar agar mereka tetap memiliki rumah, apakah pemerintah juga memikirkan itu? Belum lagi pembangunan narasi yang menghakimi orang miskin yang diucapkan langsung oleh jubir menkes dan disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa orang miskin adalah sumber penyakit di Indonesia. Dia mengatakan bahwa yang kaya melindungi yang miskin agar dapat hidup dengan wajar dan yang miskin agar tidak menularkan penyakitnya ini akan menjadi kerjasama yang baik. Narasi ini sangat tidak pantas ditengah tekanan yang mereka alami terbangun pula pandangan negatif, bahwa orang miskin seharusnya di lenyapkan dari Indonesia. Bangunan-bangunan kumuh harus diratakan agar tidak ada lagi sumber penyakit di Indonesia, setelah diratakan dibangun kembali menjadi bangunan megah dan yang miskin? Akan terus menderita akibat penggusuran yang menghilangkan rumah mereka, di Indonesia sendiri penggusuran adalah hal yang wajar untuk terus membukakan lahan bagi para investor-investor asing guna membangun ekonomi negara. Masalah ini sudah lama mengakar di Indonesia. Yah inilah Indonesia negara yang penuh dengan permasalahan yang nyata. Akan tetapi bukankah yang membawa penyakit ini yang kaya dengan berlibur keluar negri dan pulang kembali ke Indonesia. Bukan yang miskin mereka itu hanya terus didiskriminasi oleh negara, dijadikan kambing hitam dan negara tidak memperdulikan mereka. Bukankah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam langkah pencegahan penyebaran wabah penyakit di Indonesia. Sesuai undang-undang ini, salah satu kewajiban pemerintah adalah memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat, termasuk makanan bagi hewan-hewan ternak milik warga. Namun yang dilakukan pemerintah ada tanggal 31maret 2020 mengeluarkan PP nomor 21 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar hal ini Jelas, negara tidak memperhatikan undang-undang nomor 6 tahun 2018 pemerintah lepas tangan dan tidak mau memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Himbauan ini juga melahirkan banyak permasalahan di sektor pendidikan. Pilu yang dirasakan siswa maupun mahasiswa, akibat lahirnya surat edaran untuk melaksanakan proses transfer ilmu pengetahuan secara online (daring), bertatap muka saja belum menjamin proses transfer ilmu pengetahuan berjalan dengan efektif apa lagi dengan sistem online. Belum lagi ancaman-ancaman yang menghantui siswa/mahasiswa seperti listrik padam, dan seterusnya. Hal ini menyebabkan banyaknya tekanan yang dirasakan oleh orang tua siswa maupun mahasiswa, lantas bagaimana nasib dari mereka yang tidak bisa membeli handphone android untuk melaksanakan proses belajar secara online (daring). Mereka yang hidup pas-pasan apakah ini juga dipikirkan oleh mentri pendidikan? Untuk membayar biaya sehari-hari saja mereka kewalahan apalagi untuk membeli android?
Di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) sendiri melalui surat edaran Nomor: 697/30/2020 tentang perubahan surat edaran Nomor: 657/03/2020 upaya pencegahan penularan virus covid-19 dengan mengubah poin 2 yang isinya perkuliahan online (daring) berjalan satu semester. Apakah ini langkah yang soluktif Dengan nominal ukt yang setiap tahun semakin naik kita di perhadapkan dengan permasalahan baru. Biaya kuota untuk bisa masuk dalam perkuliahan, belum lagi tugas menumpuk yang menyerang psikis dari setiap mahasiswa bagaimana tidak siapa yang bisa menjamin proses perkuliahan online ini sangat efektif? Apakah jaringan internet dari setiap mahasiswa tidak lemot? Apakah mereka akan paham jika jaringan mereka terganggu? Ataukah ada hati nurani yang digunakan tenaga pengajar jika saja mereka tidak bisa masuk perkuliahan yang diakibatkan kuota mereka telah habis dan tidak mampu membeli kuota. Dikarenakan orang tua mereka harus membeli makanan untuk kebutuhan mereka dirumah. Kebijakan ini efektif jika siswa/mahasiswa lebih di perhatikan secara psikis dan financial, kami membutuhkan aturan yang soluktif bukan aturan yang normatif , kami tidak beralasan kalau kami tidak bisa membeli kuota untuk mengikuti perkuliahan. Tapi tanggapan dari beberapa tenaga pengajar hanyalah itu alasan taktis saya tidak bisa menerimanya, inilah pendidikan di Indonesia mengesampingkan hati nurani mementingkan diri sendiri. Jika kami harus mengikuti perkuliahan online berikan kami 30/50% uang ukt kami atau free akses untuk mengikuti perkuliahan. Tetapi sampai saat ini belum ada kebijakan yang meringankan siswa/mahasiswa. Hal ini jelas bahwa pendidikan kita hanyalah pendidikan yang memiskinkan.
Penulis: Muh.Nur fadil
Pada akhir tahun 2019 kemarin Cina tepatnya di wilayah Wuhan terserang wabah penyakit yakni covid-19. Virus ini dapat menular dari manusia ke manusia yang terinfeksi, bahkan virus ini bisa menempel di benda dekat pasien atau di benda yang terkena lendir batuk dari manusia yang terinfeksi. Ada berbagai macam gejala yang dirasakan jika terjangkit virus ini seperti batuk, panas tinggi dan dada terasa sesak. Virus yang dengan cepat tersebar ke seluruh belahan dunia, kini telah menjadi teror mematikan setelah merenggut nyawa ribuan orang hanya dalam waktu dua pekan. Sudah ada 200 lebih negara di dunia melaporkan adanya kasus terpapar virus corona.
Hal ini menyebabkan World Health Organitation (WHO) menyatakan darurat global terhadap covid-19 ini. Dengan melihat banyaknya kasus di setiap negara yang terpapar virus ini. Covid-19 juga menyerang laju ekonomi di setiap negara. Ini di nyatakan oleh International Monetary Fund (IMF) sebagai krisis ekonomi dan keuangan, aktivitas ekonomi menjadi melambat. Sehingga IMF akan mengeluarkan dana tunjangan untuk membantu setiap negara dibelahan dunia untuk melawan virus ini. Indonesia juga termasuk di dalamnya. Akan tetapi, belum usai permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia seperti RUU cipta lapangan kerja (RUU CILAKA) yang mengancam ke berlangsungan hidup para pekerja, palanggaran HAM dimana-mana dan seterusnya, akankah pemerintah kita menambah permasalahan lagi dengan menambah pundi-pundi hutang Indonesia? Tidak hanya itu virus ini juga menyerang beberapa sektor di Indonesia, akibat himbauan pemerintah Indonesia untuk seluruh aktivitas di lakukan dirumah. Hal ini di sebabkan akibat banyaknya masyarakat yang terjangkit virus covid-19. Saat ini ada 1.677 kasus covid-19 di Indonesia seperti yang di lansir media kompas.com. jumlah ini akan terus bertambah jika pemerintah masih saja tidak memperhatikan masyarakatnya. Hal ini jelas di sampaikan jubir pemerintah dalam keterangan pers di balaikota Jakarta pada tanggal 30 maret 2020 menyatakan 2.288 Orang Dalam Pengawasan (ODP) sedangkan untuk Pasien Dalam Pengawasan (PDP) 1.046 orang 708 orang masih di rawat dan 338 orang sudah pulang. Ini disiarankan langsung oleh media kompas tv.
Hal ini jelas sangat efektif untuk mencegah penularan virus ini. Masyarakat di himbau agar melakukan aktivitas dirumah. Akan tetapi, apakah pemerintah memikirkan masyarakat menengah ke bawah yang menggantungkan hidupnya, di jalanan mencari nafkah untuk membeli sesuap nasi untuk keluarga di rumah? Mungkin untuk kelas menengah ke atas hal ini dianggap wajar-wajar saja, untuk mengurangi penyebaran covid-19 ini. Apalagi jika mereka memiliki kapital yang banyak mereka tidak perlu khawatir makan apa hari ini dan hari selanjutnya, stok dirumah merekapun sangat banyak. Saking banyaknya, banyak masyarakat kelas bawah yang tidak kebagian untuk membelinya. Di warung-warung maupun di tempat belanja lainnya, stok sudah habis bahkan harga juga naik. Lantas bagaimana nasib masyarakat yang tidak mampu untuk tetap dirumah? Yang di sebabkan mereka tidak memiliki stok makanan untuk tetap tinggal dirumah, apakah pemerintah memikirkan itu? Apakah pemerintah telah memberikan bantuan berupa tunjangan agar mereka mampu membeli stok makanan, untuk menjalankan himbauan pemerintah agar mereka tetap dirumah? Cicilan, tagihan air, tagihan listrik dan seterusnya yang terus menghantui mereka, belum lagi biaya kontrakan yang harus dibayar agar mereka tetap memiliki rumah, apakah pemerintah juga memikirkan itu? Belum lagi pembangunan narasi yang menghakimi orang miskin yang diucapkan langsung oleh jubir menkes dan disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa orang miskin adalah sumber penyakit di Indonesia. Dia mengatakan bahwa yang kaya melindungi yang miskin agar dapat hidup dengan wajar dan yang miskin agar tidak menularkan penyakitnya ini akan menjadi kerjasama yang baik. Narasi ini sangat tidak pantas ditengah tekanan yang mereka alami terbangun pula pandangan negatif, bahwa orang miskin seharusnya di lenyapkan dari Indonesia. Bangunan-bangunan kumuh harus diratakan agar tidak ada lagi sumber penyakit di Indonesia, setelah diratakan dibangun kembali menjadi bangunan megah dan yang miskin? Akan terus menderita akibat penggusuran yang menghilangkan rumah mereka, di Indonesia sendiri penggusuran adalah hal yang wajar untuk terus membukakan lahan bagi para investor-investor asing guna membangun ekonomi negara. Masalah ini sudah lama mengakar di Indonesia. Yah inilah Indonesia negara yang penuh dengan permasalahan yang nyata. Akan tetapi bukankah yang membawa penyakit ini yang kaya dengan berlibur keluar negri dan pulang kembali ke Indonesia. Bukan yang miskin mereka itu hanya terus didiskriminasi oleh negara, dijadikan kambing hitam dan negara tidak memperdulikan mereka. Bukankah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam langkah pencegahan penyebaran wabah penyakit di Indonesia. Sesuai undang-undang ini, salah satu kewajiban pemerintah adalah memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat, termasuk makanan bagi hewan-hewan ternak milik warga. Namun yang dilakukan pemerintah ada tanggal 31maret 2020 mengeluarkan PP nomor 21 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar hal ini Jelas, negara tidak memperhatikan undang-undang nomor 6 tahun 2018 pemerintah lepas tangan dan tidak mau memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Himbauan ini juga melahirkan banyak permasalahan di sektor pendidikan. Pilu yang dirasakan siswa maupun mahasiswa, akibat lahirnya surat edaran untuk melaksanakan proses transfer ilmu pengetahuan secara online (daring), bertatap muka saja belum menjamin proses transfer ilmu pengetahuan berjalan dengan efektif apa lagi dengan sistem online. Belum lagi ancaman-ancaman yang menghantui siswa/mahasiswa seperti listrik padam, dan seterusnya. Hal ini menyebabkan banyaknya tekanan yang dirasakan oleh orang tua siswa maupun mahasiswa, lantas bagaimana nasib dari mereka yang tidak bisa membeli handphone android untuk melaksanakan proses belajar secara online (daring). Mereka yang hidup pas-pasan apakah ini juga dipikirkan oleh mentri pendidikan? Untuk membayar biaya sehari-hari saja mereka kewalahan apalagi untuk membeli android?
Di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) sendiri melalui surat edaran Nomor: 697/30/2020 tentang perubahan surat edaran Nomor: 657/03/2020 upaya pencegahan penularan virus covid-19 dengan mengubah poin 2 yang isinya perkuliahan online (daring) berjalan satu semester. Apakah ini langkah yang soluktif Dengan nominal ukt yang setiap tahun semakin naik kita di perhadapkan dengan permasalahan baru. Biaya kuota untuk bisa masuk dalam perkuliahan, belum lagi tugas menumpuk yang menyerang psikis dari setiap mahasiswa bagaimana tidak siapa yang bisa menjamin proses perkuliahan online ini sangat efektif? Apakah jaringan internet dari setiap mahasiswa tidak lemot? Apakah mereka akan paham jika jaringan mereka terganggu? Ataukah ada hati nurani yang digunakan tenaga pengajar jika saja mereka tidak bisa masuk perkuliahan yang diakibatkan kuota mereka telah habis dan tidak mampu membeli kuota. Dikarenakan orang tua mereka harus membeli makanan untuk kebutuhan mereka dirumah. Kebijakan ini efektif jika siswa/mahasiswa lebih di perhatikan secara psikis dan financial, kami membutuhkan aturan yang soluktif bukan aturan yang normatif , kami tidak beralasan kalau kami tidak bisa membeli kuota untuk mengikuti perkuliahan. Tapi tanggapan dari beberapa tenaga pengajar hanyalah itu alasan taktis saya tidak bisa menerimanya, inilah pendidikan di Indonesia mengesampingkan hati nurani mementingkan diri sendiri. Jika kami harus mengikuti perkuliahan online berikan kami 30/50% uang ukt kami atau free akses untuk mengikuti perkuliahan. Tetapi sampai saat ini belum ada kebijakan yang meringankan siswa/mahasiswa. Hal ini jelas bahwa pendidikan kita hanyalah pendidikan yang memiskinkan.
Penulis: Muh.Nur fadil
Komentar
Posting Komentar