Per-empu-an
Per-empu-an
Penulis : Muhammad Nur Fadil
Malam ini terasa begitu tenang beranjak dari kasur menuju ke dapur lalu membuat secangkir teh panas untuk menemaniku melewati malam. Setelah selesai, kubawa gelas yang telah kuseduh teh di dalamnya ditambah sedikit gula lalu bergegas menuju ke depan rumah. Kukeluarkan kursi kayu yang ada di teras rumah untuk menyaksikan malam yang begitu indah dipenuhi bintang-bintang dan sang rembulan. Setelah persiapan telah selesai kulangkahkan kakiku menuju warung di seberang jalan untuk membeli rokok agar terasa lengkap malamku dengan 3 batang rokok dan secangkir teh. Ditambah keindahan langit malam ini, ah sialan nikmat itu ternyata sesederhana ini, ucapku dalam hati. Kubakar sebatang rokok dan kembali untuk segera meminum teh yang sedang kesepian menunggu kehadiranku. Namun kenikmatan malam ini berganti menjadi malam penuh pertanyaan, berawal dari perempuan yang diturunkan oleh kekasihnya di pinggir jalan lalu ditinggalkan begitu saja. Bangsat, ucapku dalam batin. Mengapa perempuan selalu saja di perlakukan layaknya mainan.
Sosok yang begitu anggun dan rupawan yang selalu ditimpa perlakuan yang tidak seharusnya dia rasakan, perlakuan yang diberikan oleh mereka yang tidak menginginkan kehadirannya di ruang-ruang produksi. Mereka yang menolak untuk mengikuti kemauannya, mereka yang setiap saat melakukan pelecehan secara fisik maupun non-fisik kepadanya. Bahkan berujung pemaksaan dan kekerasan. Mengapa malam indahku seketika berubah begini? Ocehku dalam hati. Mengapa perempuan seringkali menjadi sosok yang lemah dan tak berdaya di lingkungan sosial saat ini. Mereka selalu saja diperlakukan layaknya koleksi yang siap diapakan saja sesuka pemiliknya, mereka yang kerap kita jumpai terkurung dalam genggaman sosial yang menitik beratkan mereka seharusnya tidak dibebaskan untuk kemana saja dan melakukan apa saja.
Namun belum usai persoalan yang ada di pikiranku, telingaku mendengar pembicaraan tetangga yang samar-samar sedang memarahi seseorang, batinku terdiam, ragaku terpaku namun rasa penasaran dalam hati terus memaksa kaki untuk melangkah mendekat agar suara itu semakin jelas. Badanku seakan ditarik untuk mendekat dan ya jelas kudengar tetanggaku itu dimarahai oleh ayahnya. Yah tetanggaku ini memiliki anak perempuan yang berkerja di salah satu toko penjual bahan baku yang memaksanya untuk pulang pada malam hari. Namun ada kalimat yang mengguncangku dari perbincangan tetanggaku. Sang ayah berkata kau tidak seharusnya bekerja, yang harus kau lakukan mendapatkan suami yang mapan yang bisa membiayaimu dan anakmu nanti, kau itu perempuan tidak seharusnya kau bekerja, yang harus kau lakukan hanyalah lihai dalam berdandan agar menarik lelaki, pandai memasak untuk keluargamu nanti. Apa lagi kau ini perempuan yang seharusnya membantu ibumu ketika sore hari untuk bersih-bersih rumah dan memasak bukan malah bekerja. Namun tak kudengar sepatah kata pun dari sang anak mungkin karena dia menghormati ayahnya ataukah dia sudah berada di dalam kamar, hanya saja batinku tidak bisa menerima perkataan dari ayahnya, apakah dia juga demikian, entahlah. Aku kembali duduk di kursi yang kusiapkan di depan rumah dengan secangkir teh buatanku sendiri yang entah mengapa terlalu manis. Bibir memaksa mencium pinggiran gelas teh untuk menenangkan perasaan yang baru saja aku alami.
Dari kejauhan kudengar ada seseorang yang memanggil namaku, mataku berusaha mencarinya dan ternyata yang memanggilku adalah kawanku yang tinggal tak jauh dari rumahku. Setelah dia duduk di sebelahku aku langsung menghujaninya dengan pertanyaan yang menganggu pikiranku malam ini. Belum sempat dia menyalakan koreknya untuk membakar rokok yang telah mendarat di bibirnya kulayangkan pertanyaan pertamaku ke dia. Mengapa perempuan dibatasi untuk bekerja? Dia berkata sambil menghisap dalam-dalam rokoknya, sekarang ini era di mana perempuan diberikan penanda bahwa perempuan tidak seharusnya bekerja di luar rumah, tetapi lebih terfokus untuk bekerja di dalam rumah, entah itu memasak, membersihkan, mencuci dan sebagainya sehingga perempuan saat ini hidup di dalam bayang-bayang sebuah perspektif yang menganggap jika mereka bekerja di luar rumah mereka akan dicap sebagai perempuan yang tidak bertanggung jawab jika dia sudah menikah, namun yang terburuknya jika dia belum menikah lalu bekerja kemudian tiba di rumah pada malam hari akan menimbulkan berbagai pembicaraan yang kurang menyenangkan hati, dituduh perempuan yang tidak baik-baik lah, tidak dididik oleh orang tua lah dan sebagainya. Tetapi kalau kita manusia bisa melihat dari sudut pandang yang lain bukankah perempuan juga bisa bekerja seperti laki-laki, entah itu secara mandiri, kolektif, baik di lembaga pemerintahan maupun swasta selama perempuan itu bekerja dalam suasana terhormat, sopan dan tidak berdampak negatif pada dirinya lantas apa bedanya perempuan dan laki-laki dalam ruang produksi? Lagi dan lagi semua itu tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Seketika kepalaku mengangguk mendengar jawabannya. Kutawari dia teh yang telah kubuat dari tadi sebagai sogokan untuk masuk kepada pertanyaan yang kedua. Setelah dia meminum teh yang kutawarkan tadi dengan cepat kembali kulayangkan pertanyaan ke dia, lantas bagaimana dengan laki-laki yang tak mau mengerjakan pekerjaan perempuan? Seperti membersihkan, memasak, dan sebagainya. Dengan spontan dia menjawab apakah kau tidak mengerjakan pekerjaan itu? Sembari dia tersenyum kepadaku ditambah dengan tawa yang mengejek. Tidak semuanya laki-laki tidak melakukan pekerjaan perempuan toh laki-laki juga punya tangan untuk membersihkan, memasak dan sebagainya. Pertanyaanmu ini kenapa ngawur, mungkin memang ada laki-laki yang menolak melakukan pekerjaan itu, laki-laki yang berpikiran bahwa pekerjaan itu memang untuk dikerjakan oleh perempuan saja, laki-laki yang seperti ini biasanya hanya memperbudak perempuan saja agar melakukan sesuatu sesuka hatinya. Tiba-tiba dia bertanya padaku, lantas bagaimana kau melihat fenomena itu? Lelaki di seberang jalan yang berusaha menggoda perempuan yang lewat di depannya. Seketika aku baru tersadar ternyata ada kejadian lagi, mengapa malam ini diusik dengan kejadian seperti ini, ucapku dalam hati. Perempuan yang digoda oleh beberapa pemuda di tepi jalan sana. Pelecehan, ucapku secara spontan. Perempuan yang selalu mendapatkan pelecehan secara non-fisik dari laki-laki dengan kata-kata yang menjatuhkan harga diri perempuan tersebut, menganggap perempuan sebagai objek untuk dijadikan bercandaan, bahkan jika perempuan itu diperkosa apakah banyak yang peduli padanya? Beberapa masyarakat akan menyalahkan korbannya. Dengan perkataan-perkataan yang membuat mental korban tambah terpuruk. "Siapa suruh bersolek dan jalan pada malam hari, bukannya tinggal di rumah malah keluyuran", dan masih banyak lagi yang akan menimpanya. Pelaporan, perlindungan bahkan dukungan pun mungkin hanya sedikit yang memberikan. Seketika kukatakan pada temanku, bukankah kau selalu memperhatikan setiap wanita yang lewat di depan rumahmu juga kemudian tertawa? Dia juga ikut tertawa! Belum lagi kekerasan dalam hubungan rumah tangga maupun pacaran yang sering terjadi saat ini, kata temanku. Kata-kata kasar yang ditujukan pada perempuan tanpa dipikirkan dulu sebelum mengucapkannya. Belum lagi jika sang lelaki sudah termakan emosi sampai-sampai melayangkan pukulan kepadanya. Entah apa yang ada di pikirannya, bukankah dia lahir dari rahim seorang perempuan? Yang membesarkannya dengan penuh kasih dan sayang namun dengan gampangnya dia melukai hati seorang perempuan yang dia ikatnya. Jika saja kita bisa berjalan bersama dan menerima perempuan di ruang-ruang sosial, mungkin saja ada perubahan untuk negara kita. Seketika diriku tertawa mendengar ucapannya. Bahas-bahas negara beli rokok saja kita susah, ini malah mau membahas perubahan untuk negara. Sudahlah, perempuan tidak seharusnya terus dikekang dengan stereotip dari masyarakat toh laki-laki dan perempuan apa bedanya selain perbedaan kelamin? Kemudian kami tertawa bersama.
Tak terasa malam semakin larut memaksa kami untuk menyelesaikan pembahasan malam hari ini. Pikiranku seketika kembali jernih toh perempuan juga bisa bersaing dengan laki-laki dalam ranah pekerjaan maupun gagasannya. Mereka juga bisa melawan yang tidak diinginkannya, menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri.
Komentar
Posting Komentar